Dini hari begini aku belum dapat memejamkan mata ini. Padahal raga ini telah lelah seharian beraktifitas. Namun pikiranku terus saja memikirkan hal tadi sore. Mungkin memang tak banyak yang dapat ku perbuat untuknya. Aku sadari, aku hanya bisa membuatnya menjadi orang yang merugi., membuat dirinya selalu masuk ke dalam zona "down". Kalau lah saja aku bisa menukarnya, akan ku tukar keadaannya sekarang dengan keadaanku.
Meskipun yang ia katakan begitu nancleb di hati, tapi ya sudahlah. toh lagi keadaan kayak begitu pasti "down" banget. Aku cuma sekedar ingin berbagi,sob.
Dulu, sekitar 3 tahun yang lalu. Saat aku masih duduk di bangku menengah atas. Aku juga pernah mengalaminya. Mugkin bisa dikatakan bukan pernah lagi tapi sering mengalami keadaan seperti dirinya. Aku dulu bisa disebut siswi pandai. tak ayal peringkatku di kelas selalu menjadi bintang, hingga aku lulus bangku menengah pertama. Namun seperti Allah memiliki kado untukku. Setelah aku menjadi siswi sekolah menengah atas. Kehidupanku yang dulu sebagai bintang kelas berubah 180 derajat menjadi siswi biasa-biasa saja, bahkan mungkin bagis ebagian guru di sekolah itu aku dikategorikan siswi dengan IQ rendah.
Tahun pertama, aku benar-benar terpuruk oleh keadaan yang menghimpitku. Hingga sampai aku dalam seminggu menangis dan merengek-rengek pada orangtuaku untuk mengurus kepindahanku. Yaa secara, aku berada di kelas unggulan yang notabene siswa-siswinya berasal dari siswa-siswi teladan di kotaku. Ditambah lagi dengan kegiatan belajar mengajar yang hampir sebagian besar penyampaiannya menggunakan bahasa inggris. Makin ngga betah aku dibuatnya :'( Alhasil, di akhir tahun pertama aku bersekolah disitu mendapat peringkat yang buruk karena hasil belajarku selama setahun disitu hanyalah berbuah Doremifasol saja (seperti lagunya Budi-Doremi). Dan mungkin disinilah kesabaranku diuji oleh Allah.
Pada saat itu, aku berpikir mungkin seperti inikah perasaan hati teman-temanku dulu yang mendapat peringkat
jauh dibawah peringkatku. Ya Rabb, Engkau yang memiliki segalanya. Ampuni aku yang telah kufur dari nikmat-Mu :'( Sedih? Jelas! Sakit hati? Oh tentu! Namun apakah aku akan terus seperti ini diam dalam keterpurukan? Oh, tentu TIDAK! Bangkit itu susah. Susah jika kita harus selalu berteman dengan kegelapan.
Tahun kedua mulai berjalan. Sedikit demi sedikit aku mulai merangkak naik. Mulai ada pencerahan di setiap hariku. Namun, ujian kembali menhampiriku. Di akhir tahun kedua ini, nilai Fisika aku benar-benar merah! Tak tahu harus bagaimana :'( Hingga sampai orangtuaku dipanggil untuk menghadap guru bersangkutan. Setelah urus mengurus dan aku harus melakukan serangkaian ujian tulis dari guru tersebut, akhirnya akupun bisa naik kelas dengan nilai yang pas-pasan (pas diongkos kali yaa).
Bosan dengan kegiatan belajar yang membuat hatiku malah panas dan menjadi uring-uringan saja jika belajar, maka aku alihkan perhatianku pada kesibukan di organisasi sekolah. Untungnya bisa membuatu lebih enjoy menikmati hidup sebagai pelajar dalam euforia putih-abu.
Tahun ketiga, aku menjadi pelajar adalah tahun terakhir aku menimba ilmu disitu. Barulah aku merasakan perubahan yang signifikan pada kegiatan belajarku baim di sekolah maupu di rumah. Mungkin karena kali itu merupakan tahun terakhir dan juga babak penentuan kelulusan, jadi aku bersungguh-sungguh menjalaninya.
Dan ujian pun datang kembali saat aku mendaftar di sebuah Perguruan Tinggi di Jawa Tengah namun hasilnya aku tidak diterima. Aku mulai berpikir mengapa aku seperti ini? Apa salahku? Aku tiba-tiba teringat akan sesuatu hal. Restunya orangtua adalah restu Allah. Dan aku langsung menyadari bahwa pilihanku itu memang tidak direstui oleh orangtua, karena terbentur dengan biaya yang besar (secara pilihan jurusan kuliah yang aku inginkan itu membutuhkan banyak dana). Maklum, orangtuaku hanya wiraswasta yang tak tentu pendapatannya. Bukan pegawai negeri sipil yang sudah mendapat sertifikasi ataupun gaji ke-13. Tapi aku bersyukur masih diberi orangtua yang utuh dan juga berlimpah kasih sayang, tak kurang suatu apapun.
Dan sekarang pun aku kuliah di sebuah Perguruan Tinggi di kota Kembang inilah berkat restu dari orangtua, yang walau bertolak belakang dengan keinginan hatiku ini. Disini aku sebagai mahasiswi, menjalani hari-hari dengan biasa saja. Tak ada ambisi yang membara, seperti dulu waktu aku masih memakai seragam putih-biru. Kini yang ada hanyalah rencana hidupku di masa depan mau jadi apa dan dengan cara bagaimana aku membalas semua pengorbanan dan jasa orangtua juga membahagiakan keluargaku kelak.
Semoga rencana-Mu untukku indah di saat yang telah Engkau siapkan untukku. Karena aku yakin rencana-Mu takkan salah dan takkan merugikanku. Terimakasih Ya Rabb, Engkau masih memberiku ujian dalam hidupku. Namun Engkau selalu memberiku kesempatan agar aku kembali. Karena itu pertanda bahwa Engkau selalu mengingatku sebagai hamba-Mu.
Meskipun yang ia katakan begitu nancleb di hati, tapi ya sudahlah. toh lagi keadaan kayak begitu pasti "down" banget. Aku cuma sekedar ingin berbagi,sob.
Dulu, sekitar 3 tahun yang lalu. Saat aku masih duduk di bangku menengah atas. Aku juga pernah mengalaminya. Mugkin bisa dikatakan bukan pernah lagi tapi sering mengalami keadaan seperti dirinya. Aku dulu bisa disebut siswi pandai. tak ayal peringkatku di kelas selalu menjadi bintang, hingga aku lulus bangku menengah pertama. Namun seperti Allah memiliki kado untukku. Setelah aku menjadi siswi sekolah menengah atas. Kehidupanku yang dulu sebagai bintang kelas berubah 180 derajat menjadi siswi biasa-biasa saja, bahkan mungkin bagis ebagian guru di sekolah itu aku dikategorikan siswi dengan IQ rendah.
Tahun pertama, aku benar-benar terpuruk oleh keadaan yang menghimpitku. Hingga sampai aku dalam seminggu menangis dan merengek-rengek pada orangtuaku untuk mengurus kepindahanku. Yaa secara, aku berada di kelas unggulan yang notabene siswa-siswinya berasal dari siswa-siswi teladan di kotaku. Ditambah lagi dengan kegiatan belajar mengajar yang hampir sebagian besar penyampaiannya menggunakan bahasa inggris. Makin ngga betah aku dibuatnya :'( Alhasil, di akhir tahun pertama aku bersekolah disitu mendapat peringkat yang buruk karena hasil belajarku selama setahun disitu hanyalah berbuah Doremifasol saja (seperti lagunya Budi-Doremi). Dan mungkin disinilah kesabaranku diuji oleh Allah.
Pada saat itu, aku berpikir mungkin seperti inikah perasaan hati teman-temanku dulu yang mendapat peringkat
jauh dibawah peringkatku. Ya Rabb, Engkau yang memiliki segalanya. Ampuni aku yang telah kufur dari nikmat-Mu :'( Sedih? Jelas! Sakit hati? Oh tentu! Namun apakah aku akan terus seperti ini diam dalam keterpurukan? Oh, tentu TIDAK! Bangkit itu susah. Susah jika kita harus selalu berteman dengan kegelapan.
Tahun kedua mulai berjalan. Sedikit demi sedikit aku mulai merangkak naik. Mulai ada pencerahan di setiap hariku. Namun, ujian kembali menhampiriku. Di akhir tahun kedua ini, nilai Fisika aku benar-benar merah! Tak tahu harus bagaimana :'( Hingga sampai orangtuaku dipanggil untuk menghadap guru bersangkutan. Setelah urus mengurus dan aku harus melakukan serangkaian ujian tulis dari guru tersebut, akhirnya akupun bisa naik kelas dengan nilai yang pas-pasan (pas diongkos kali yaa).
Bosan dengan kegiatan belajar yang membuat hatiku malah panas dan menjadi uring-uringan saja jika belajar, maka aku alihkan perhatianku pada kesibukan di organisasi sekolah. Untungnya bisa membuatu lebih enjoy menikmati hidup sebagai pelajar dalam euforia putih-abu.
Tahun ketiga, aku menjadi pelajar adalah tahun terakhir aku menimba ilmu disitu. Barulah aku merasakan perubahan yang signifikan pada kegiatan belajarku baim di sekolah maupu di rumah. Mungkin karena kali itu merupakan tahun terakhir dan juga babak penentuan kelulusan, jadi aku bersungguh-sungguh menjalaninya.
Dan ujian pun datang kembali saat aku mendaftar di sebuah Perguruan Tinggi di Jawa Tengah namun hasilnya aku tidak diterima. Aku mulai berpikir mengapa aku seperti ini? Apa salahku? Aku tiba-tiba teringat akan sesuatu hal. Restunya orangtua adalah restu Allah. Dan aku langsung menyadari bahwa pilihanku itu memang tidak direstui oleh orangtua, karena terbentur dengan biaya yang besar (secara pilihan jurusan kuliah yang aku inginkan itu membutuhkan banyak dana). Maklum, orangtuaku hanya wiraswasta yang tak tentu pendapatannya. Bukan pegawai negeri sipil yang sudah mendapat sertifikasi ataupun gaji ke-13. Tapi aku bersyukur masih diberi orangtua yang utuh dan juga berlimpah kasih sayang, tak kurang suatu apapun.
Dan sekarang pun aku kuliah di sebuah Perguruan Tinggi di kota Kembang inilah berkat restu dari orangtua, yang walau bertolak belakang dengan keinginan hatiku ini. Disini aku sebagai mahasiswi, menjalani hari-hari dengan biasa saja. Tak ada ambisi yang membara, seperti dulu waktu aku masih memakai seragam putih-biru. Kini yang ada hanyalah rencana hidupku di masa depan mau jadi apa dan dengan cara bagaimana aku membalas semua pengorbanan dan jasa orangtua juga membahagiakan keluargaku kelak.
Semoga rencana-Mu untukku indah di saat yang telah Engkau siapkan untukku. Karena aku yakin rencana-Mu takkan salah dan takkan merugikanku. Terimakasih Ya Rabb, Engkau masih memberiku ujian dalam hidupku. Namun Engkau selalu memberiku kesempatan agar aku kembali. Karena itu pertanda bahwa Engkau selalu mengingatku sebagai hamba-Mu.